Zee sempat menemukan dirinya berhasil membuka pagar yang
telah ia buat sendiri. Perlahan membukanya, serta memberanikan diri menapaki langkah
setapak demi setapak dihadapannya. Bertegur sapa dengan orang baru, si hitam,
si putih, si pendek dan si tinggi. Bertemu dengan orang-orang yang mengagung-agungkan banyak hal sampai yang tak peduli apapun
termasuk dirinya sendiri. Dunia sekarang memang aneh, banyak aturan tanpa
tujuan. Wajar saja banyak orang yang berkeliaran seenaknya.
Jika bisa memilih aku ingin hidup di masa sebelum kartini
lahir. Katanya waktu itu, wanita dibelenggu, wanita dibatasi, banyak benteng
yang menghalangi gerak dan tidak semua ekspresi dapat diungkapkan. Aku ingin
berada dimasa itu, melihat diri terjaga. Bukan malah diberi kebebasan untuk
menjaga diri sendiri.
Saat itu, Zee terlena mengenal sosok yang tampak berbinar-binar
dimatanya seakan memberikan secerca harapan bahagia. Untuk dirinya yang telah
lama bungkam, untuk dirinya yang telah lama menetap di zona nyaman, untuk dirinya
yang selalu bisa mengatakan “gak apa-apa” meskipun sebenarnya ia tengah
menangisi takdirnya sendiri.
Harapan itu mengisi banyak lembaran kosong dibuku hariannya,
memberi warna indah bak pelangi setelah hujan. Hari demi hari berlalu, harap demi harap
memuncak. Binar itu semakin menderang, lalu ia menyerah.
Ia sadar bahwa tidak ada yang bisa ia harapkan dari binaran
itu, setelah menderang, binaran itupun seketika padam. Menghilang, lalu ia hanya
bisa kembali menutup pintu pagar yang telah dibuatnya sendiri. Sembari mengutuk dirinya dan berkata: “Sudah
kubilangkan, Tidak akan ada harapan yang benar selain harapan pada yang ESA.” Dan
tangisannya pun pecah saat itu juga.
Komentar
Posting Komentar